BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebenarnya
manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang
sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya.
Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari
makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk
menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat
merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa
digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki
kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak
alamtetapi akal budi manusia juga mampu ‘digiring’ untuk menciptakan
teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha
penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukanpenghijauandi daerah kering,di
Arab Saudi.
Kita
hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas
alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam.
Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas
ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal
itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik.
Adalah salah jika menuju ke arah lain”.
Salah
satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses
terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi.
Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia
melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat
sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem
ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan
mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang
ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam
memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai
hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan
yang dilandasi oleh sikap menghargaialam sebagai bagian dari hidup
manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya
berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk
menemukan suatu sistem ekonomi baru yang sungguh menghargai “yang
lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu
baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang
diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta
simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga
yang terbesardan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan.
Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini.
Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang
perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu
bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup
manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti
menghancurkan manusia sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana pengaruh pelestarian
lingkungan pada kehidupan manusia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Konservasi
Pada
awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan
tahun yang lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan
berinteraksi dengan alam dilakukan antara lain dengan cara berburu,
yang merupakan suatu kegiatan baik sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu hobi/hiburan.
Di
Asia Timur, konservasi sumber daya alam hayati dimulai saat Raja Asoka
(252 SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu
dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan.Sedangkan
di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan
para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul Doomsday Book
yang berisi inventarisasi dari sumber daya alam milik kerajaan.
Kebijakan
kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk konservasi
sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka melakukan
konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I melakukan
pengelolaan sumber daya alam hayati atas dasar adanya data yang
akurat.Namun dari sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa bahkan sejak
jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada
manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif
dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno konservasi
yang merupakan cikal bakal dari konsep modern konservasi dimana konsep
modern konservasi menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan
sumber daya alam secara bijaksana.
Konservasi
itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian
mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have),
namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore
Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi.
Sedangkan
menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi
kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada
saat sekarang.Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan
ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba
mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi
ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang
dan masa yang akan datang.
B. Kebijaksanaan Nasional Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Kebijakan
nasional lingkungan hidup merupakan nilai-nilai dasar dalam
pelestarian lingkungan yang terdiri butir-butir sebagai berikut :
Pelestarian
lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan
yaitu pembangunan yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan manusia saat ini,
tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan manusia pada
generasi-generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan didasarkan atas
kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam jangka waktu pendek,
menengah dan panjang dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, dinamika
sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Fungsi
lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam
jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan
dalam pembangunan perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung
lingkungan sesuai fungsinya. Daya dukung lingkungan menjadi kendala
(constraint) dalam pengambilan keputusan dan prinsip ini perlu dilakukan
secara kontinyu dan konsekuen.
Pemanfaatan
sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan antar
generasi. Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan
daya pemulihannya.
Setiap
warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya,
setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan
yang benar, lengkap dan mutakhir.
Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan daripada usaha penanggulangan dan pemulihan.
Kualitas
lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan perlu dihindari bila sampai terjadi pencemaran dan perusakan
lingkungan, maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan tanggung
jawab pada pihak yang menyebabkannya
Pelestarian
lingkungan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian melalui
pendekatan manajemen yang layak dengan sistem pertanggung jawaban.
C. Paradigma Pelestarian Lingkungan
Sekarang
ini paradigma pembangunan lebih bersifat high-techsentris, hingga
keberhasilan pun hanya dilihat dari angka kuantitatif yang berdimensi
material. Sementara itu keseimbangan ekologis, langka – untuk tidak
mengatakan tak pernah sama sekali – mendapat perhatian dari fasilitator
pembangunan.
Akibatnya
ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan rupiah terkikis habis
diterjang kemurkaan alam lewat berbagai kondisi lingkungan yang kian
degradatif. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan yang
sedemikian parah dari sekira 120,35 juta hektare; 59 juta hektare
diantaranya rusak dan memerlukan rehabilitasi. Bahkan laju
pengrusakannya berkisar 2,83 juta hektare setiap tahunnya. Kerugian
material yang diderita pun hampir mencapai Rp. 10 triliunan per tahun.
Jika
kondisi di atas tidak segera mendapat perhatian, saya rasa sepuluh
atau dua puluh tahun ke depan, hutan Indonesia akan mengalami
penurunan, bahkan kehancuran. Maka, pengelolaan sumber daya alam (SDA)
secara terpadu semestinya menggunakan paradigma berwawasan ekologis
hingga pemanfaatannya tidak berbentuk pengurasan habis-habisan yang
mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan alam.
Lantas,
bagaimana peran religiusitas, dalam hal ini Islam yang memiliki sumber
pertama (masdar al-awwal) Al-Qur’an dalam memberikan sumbangsih bagi
keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber
daya alam adalah ancaman berat bagi pembangunan. Dari sinilah,
pembangunan berbasis nilai-nilai religius sangat urgen diperhatikan agar
bangsa dapat bepijak secara kokoh dan program pembangunan pun
berkesinambungan serta mengikuti “aturan main” alam.
Agama
mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan
yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna
pentingnya menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi
dan eksplorasi tak berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke program konservasi
alam)”.
Esensi
ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development) yakni dari kalimat “agar mereka kembali”. Term
“kembali” kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan
ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian lingkungan hidup.
Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk
menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik
dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).
Kearifan
ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat
tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah
(sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut
(Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini
mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem kehidupannya
memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Karena
itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis
yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan
sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman.
Tujuannya
agar arah pembangunan dihiasi etika keadiluhungan agama, dan ketika
berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari
“angkat tangan” melestarikan atau malah “cuci tangan” ketika dirinya
merusak alam. Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang
berbudaya tidak boleh bersikap dan berperilaku destruktif seperti
melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup atas
dalih pembangunan infrastruktur.
Demikian,
dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepulauan
Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika
memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda
pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan
secara gamblang oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah
gerak pembangunan.
Pertama,
leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi
lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat.
Kedua, leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh
dieksploitasi warga, karena alasan kepercayaan dalam sistem sosial
kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan, semacam hutan yang boleh
dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan izin dari
pemimpin adat.
Dari
tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma
ekologis adalah sebuah keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan
kerap diinterpretasi dengan pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya,
potensi alam banyak terdegradasi ketika terkena proyek pembangunan,
misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo yang menelan
kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak
berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat
celcius pada musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan
pembangunan infrastruktur yang jarang memperhatikan sarakan (baca:
lingkungan) sekitar.
Kondisi
di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta
pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan
keuntungan ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi.
Maka, konsep pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem
sosial masyarakat daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan
alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga wajib menengok dan
mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga mewujud
dalam bentuk pembangunan berkelanjutan.
Alhasil,
income pendapatan ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan
terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab,
kita juga tahu bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita
dan mesti dipelihara agar kelak mereka dapat bersenyum ria pada
kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila sampai berusaha mengakhiri
hidup dengan cara “bunuh diri” akibat kemiskinan yang diderita.
D. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Lingkungan
Konservasi
sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber
daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan
kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan melakukan konservasi
tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya
alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia
(Dephut, 1990).
Strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan tiga P (3P), yaitu :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Proses
perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman
hutan raya, dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu
adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
(Dephut, 1990).
Dari
ketiga strategi tersebut satu dengan lainnya sangat berkait, sehingga
untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
harus dilakukan bersama-sama. Artinya kalau yang dilakukan hanya satu
aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan
pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat
tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan
tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa
memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi
tentu saja pemusnahan sumber daya alam hayati tersebut.
Kegiatan
konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya ini meliputi tiga
kegiatan sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yaitu perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis, dan
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Dephut, 1990).
Perlindungan
Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk
memelihara proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu
kehidupan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara pemanfaatan
wilayah perlindungan dan sistem penyangga hendaknya senantiasa
memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut.
Menurut
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat
dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian,
penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan
dan satwa liar.
Untuk
melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu
dipenuhi, yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman,
memenuhi standart kesehatan tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga
ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Begitu pula kalau ingin
melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka persyaratan
yang perlu dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan
keanekaragaman genetik, dapat melakukan penandaan dan sertifikasi, serta
dapat membuat buku daftar silsilah (Dephutbun, 1999b).
Ada
berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan
konservasi ex-situ. Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan
lokal pada berbagai jenis tumbuhan akibat adanya bencana alam dan
kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan berbagai jenis
tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan
dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan kelemahannya
antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan eksplorasi dan
penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat
adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut
dilakukan; di samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang
cukup besar, serta tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman.
Pemanfaatan
kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap
menjaga kelestarian fungsi kawasan, sedangkan pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar harus selalu memperhatikan kelangsungan
potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar
tersebut.
Pemanfaatannya
dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan,
penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya
tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun,
1999b). Khusus untuk perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam
skala kecil dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau
sekitar kawasan konservasi. Tentu saja jenis tumbuhan dan satwa liar
tersebut adalah yang tidak dilindungi, sedangkan perdagangan dalam skala
besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memperoleh
rekomendasi Menteri, di samping harus memiliki berbagai persyaratan
tertentu lainnya (Dephut, 1990).
Adanya
perubahan politik dari era sentralistik-otoriter ke
desentralistik-demokratis yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi
daerah telah membawa dampak semakin tajamnya degradasi sumber daya alam
dan ekosistemnya.
Perubahan
tersebut akan mendorong adanya kegiatan yang mengarah pada perlombaan
membangun daerah. Kegiatan tersebut senantiasa bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan daerah sebagai sarana menuju kesejahteraan
masyarakat setempat. Keadaan ini secara langsung atau tidak langsung
akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan
ekosistemnya, sehingga pada gilirannya akan memacu keadaan lingkungan
menjadi berada pada taraf membahayakan kehidupan masyarakat.
Terjadinya
penurunan kualitas sumber daya alam ini merupakan suatu indikasi
adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan
sumber daya alam.
Adanya
peraturan pemerintah yang kurang memberikan penekanan pada upaya
pelestarian sumber daya alam, dan lebih memprioritaskan perolehan
pendapatan belaka, maka dapat membawa dampak yang sulit dihindari dalam
pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagaimana data yang
terjadi dewasa ini menunjukkan bahwalaju pengurangan luas hutan di pulau
Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per
tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi
mencapai 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun.
Adanya pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju
penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan hutan (deforestasi).
Terjadinya
degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi
yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia.
Ada
berbagai masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan
ekosistemnya, jika dalam penjabaran dan pelaksanaan otonomi daerah
tersebut tidak ditangani secara hati-hati. Masalah yang akan muncul
tersebut akan berupa degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan, sumber daya sungai
dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai dampak
pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan
lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya alam yang semula menjadi sumber
utama bagi peningkatan pendapatan daerah, jika pemanfaatannya dalam
jangka panjang tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang mengarah
kepada upaya perbaikan dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam,
maka hal tersebut sudah dapat diduga akan menjadi sumber konflik antar
pemerintah daerah di masa yang akan datang.
Di
awal era reformasi, terlihat gejala makin cepatnya degradasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Di berbagai daerah telah terjadi
perusakan hutan, baik hutan lindung, hutan peyangga, hutan tanaman
industri, dan kawasan konservasi. Rusaknya hutan, berarti telah terjadi
kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun
satwa langka. Juga berbagai macam perusakan baik di laut, daerah
aliran sungai, pertambangan, tanah, udara, dan air. Peristiwa tersebut
telah terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia dengan
akibat yang akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Menyikapi
fenomena degradasi sumber daya alam hayati bersamaan dengan
pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka diperlukan kesadaran kolektif
dan serentak pada semua lapisan masyarakat, baik para penyelenggara
pemerintahan, pelaku ekonomi, dan masyarakat pada umumnya untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Saat
ini kita telah merasakan semangat pembaruan yang semakin tampil dengan
wajah kebebasan yang tidak jelas batas-batas dan arahnya. Hampir semua
aspek kehidupan sekarang telah dilanda gejala tersebut, termasuk
kebebasan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung mengarah pada
perusakan dan degradasi sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu,
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, memang dituntut untuk dapat
menggali potensi agar dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri, tetapi bukan berarti bahwa kebebasan menggali potensi ini
adalah merusak sumber daya alam yang ada. Pelaksanaan otonomi daerah
tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk memanfaatkan sumber daya alam
dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan menanggung segala kerugiannya
adalah masyarakat.
BAB IIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia, bila hal
tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan
pemberdayaan masyarakat ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan
kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam hayati tersebut.
Strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan
Konservasi, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam
kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga
pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula.
Kegiatan
penyelamatan lingkungan harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat
yang ada di sekitar kawasan konservasi. Konservasi lingkungan yang
meninggalkan masyarakat lokal hanya akan menimbulkan konflik dan
berujung pada kegagalan program konservasi. Karena itu, kepentingan
masyarakat harus diakomodasi dengan menjadikan mereka mitra konservasi.
Tujuan
konservasi alam tidak akan tercapai tanpa kerja sama dengan masyarakat
lokal karena mereka sangat tergantung pada sumber daya alam.
Masyarakat harus tetap memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dari
kegiatan konservasi itu.
Kegiatan
pelestarian lingkungan akan berhasil bila masyarakat lokal merasakan
manfaat dari kegiatan itu secara langsung. Selama ini kegiatan
konservasi lingkungan selalu diikuti konflik antara masyarakat dan
pengelola kawasan konservasi. Masyarakat di sekitar kawasan yang selama
ini bergantung pada sumber daya alam tiba-tiba terputus aksesnya untuk
memperoleh penghidupan dari alam.
Manfaat
kawasan konservasi bagi masyarakat akan semakin tegas bila didukung
kebijakan pemerintah dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan
manajemen kolaborasi. Dalam manajemen kolaborasi, masyarakat dan semua
pihak terkait berbagi peran dalam pengelolaan kawasan. Mekanisme ini
bisa meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas pengelolaan kawasan.
Penerapan
jasa lingkungan merupakan salah satu cara pemberian imbalan yang layak
bagi masyarakat konservasi. Sebagai contoh adalah mekanisme pembayaran
jasa lingkungan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Perusahaan Daerah Air
Minum di sana membayar jasa lingkungan ke petani yang telah menjaga
hutan di daerah tangkapan air Gunung Rinjani.
Wacana
pembayaran jasa lingkungan seperti ini harus terus diangkat. Kita
sering tidak memikirkan dari mana air yang kita minum selama ini.
Bagaimana jika tidak ada masyarakat yang menjaga hutan di daerah
tangkapan air.
Langkah
lain yang penting dilakukan adalah meminta kontribusi dan penghargaan
dari kelompok masyarakat penerima manfaat langsung kegiatan konservasi
untuk ikut menanggung biaya konservasi. Hingga saat ini, sebut saja
konsumen air minum PDAM maupun air botolan, belum menghargai dan
membayar jasa keberadaan kawasan konservasi dan upaya tani-hutan di
daerah tangkapan air dalam mengkonservasi wilayah tersebut.
Imbal
balik ekonomi dari kegiatan konservasi tersebut membutuhkan
peningkatan kapasitas masyarakat. Daya tawar masyarakat harus
ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan fasilitasi ke pemerintah.
B. Saran
Untuk
mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah
gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama,
budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), berwawasan
lingkungan (eco-development) dan bisa juga kita sebut dengan konsep
eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah perintah suci dari
sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena itu, mari kita gulirkan
program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya lokal,
dan berparadigma ekologis mulai detik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
Wardojo,
W. 2001. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Rangka
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Jember: Penerbit Universitas
Jember.