Thursday, March 14, 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia. Tidak hanya di Negara-negara berkembang, tetapi juga di Negara-negara maju, sampah selalu menjadi masalah. Rata-rata setiap harinya kota-kota besar di Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah. Sampah-sampah itu diangkut oleh truk-truk khusus dan dibuang atau ditumpuk begitu saja di tempat yang sudah disediakan tanpa diapa-apakan lagi. Dari hari ke hari sampah itu terus menumpuk dan terjadilah bukit sampah seperti yang sering kita lihat.

Sampah yang menumpuk itu, sudah tentu akan mengganggu penduduk di sekitarnya. Selain baunya yang tidak sedap, sampah sering dihinggapi lalat. Dan juga dapat mendatangkan wabah penyakit. Walaupun terbukti sampah itu dapat merugikan, tetapi ada sisi manfaatnya. Hal ini karena selain dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat, sampah juga dapat diubah menjadi barang yang bermanfaat. Kemanfaatan sampah ini tidak terlepas dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menanganinya.

1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui jenis-jenis sampah
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang sampah
3. Untuk mengetahui cara mengolah sampah
4. Mencoba menganalisis dan memecahkan masalah tentang sampah


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Sampah Organik
Sampah Organik adalah merupakan barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih bisa dipakai kalau dikelola dengan prosedur yang benar. Organik adalah proses yang kokoh dan relatif cepat, maka tanda apa yang kita punya untuk menyatakan bahwa bahan-bahan pokok kehidupan, sebutlah molekul organik, dan planet-planet sejenis, ada juga di suatu tempat di jagad raya? sekali lagi beberapa penemuan baru memberikan rasa optimis yang cukup penting. Sampah organik adalah sampah yang bisa mengalami pelapukan (dekomposisi) dan terurai menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau (sering disebut dengan kompos).
Kompos merupakan hasil pelapukan bahan-bahan organik seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, sampah, rumput, dan bahan lain yang sejenis yang proses pelapukannya dipercepat oleh bantuan manusia. Sampah pasar khusus seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan sisanya anorganik.

2.2    Jenis-Jenis Sampah Organik
Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan, Sampah organik sendiri dibagi menjadi :
-       Sampah organik basah.
 Istilah sampah organik basah dimaksudkan sampah mempunyai kandungan air  yang cukup tinggi. Contohnya kulit buah dan sisa sayuran.
-        Sampah organik kering.
Sementara bahan yang termasuk sampah organik kering adalah bahan organik lain yang kandungan airnya kecil. Contoh sampah organik kering di antaranya kertas, kayu atau ranting pohon, dan dedaunan kering.

2.4    Prinsip Pengolahan Sampah
Berikut adalah prinsip-prinsip yang bisa diterapkan dalam pengolahan sampah. Prinsip-prinsip ini dikenal dengan nama 4R, yaitu:
-        Mengurangi (bahasa Inggris: reduce)
Sebisa mungkin meminimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
-       Menggunakan kembali (bahasa Inggris: reuse)
Sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang sekali pakai, buang (bahasa Inggris: disposable).
-       Mendaur ulang (bahasa Inggris: recycle)
Sebisa mungkin, barang-barang yang sudah tidak berguna didaur ulang lagi. Tidak semua barang bisa didaur ulang, tetapi saat ini sudah banyak industri tidak resmi (bahasa Inggris: informal) dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
-       Mengganti (bahasa Inggris: replace)
Teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama.

2.5    Pengolahan Sampah
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Melalui proses dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur hara secara alamiah. Hara yang terkandung dalam bahan atau benda-benda organik yang telah mati, dengan bantuan mikroba (jasad renik), seperti bakteri dan jamur, akan terurai menjadi hara yang lebih sederhana dengan bantuan manusia maka produk akhirnya adalah kompos (compost).
Setiap bahan organik, bahan-bahan hayati yang telah mati, akan mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Daun-daun yang gugur ke tanah, batang atau ranting yang patah, bangkai hewan, kotoran hewan, sisa makanan, dan lain sebagainya, semuanya akan mengalami proses dekomposisi kemudian hancur menjadi seperti tanah berwarna coklat-kehitaman. Wujudnya semula tidak dikenal lagi. Melalui proses dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur hara secara alamiah. Hara yang terkandung dalam bahan atau benda-benda organik yang telah mati, dengan bantuan mikroba (jasad renik), seperti bakteri dan jamur, akan terurai menjadi hara yang lebih sederhana dengan bantuan manusia maka produk akhirnya adalah kompos (compost).
Pengomposan didefinisikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agensia (perantara) yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip dengan humus. Hasil perombakan tersebut disebut kompos. Kompos biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk dan pembenah tanah.
Kompos dan pengomposan (composting) sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai sumber mencatat bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk telah dimulai sejak 1000 tahun sebelum Nabi Musa. Tercatat juga bahwa pada zaman Kerajaan Babylonia dan kekaisaran China, kompos dan teknologi pengomposan sudah berkembang cukup pesat.
Namun demikian, perkembangan teknologi industri telah menciptakan ketergantungan pertanian terhadap pupuk kimia buatan pabrik sehingga membuat orang melupakan kompos. Padahal kompos memiliki keunggulan-keunggulan lain yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu kompos mampu: • Mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga memudahkan perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara. • Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih ama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.• Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara. • Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.

2.6    Kelebihan Mengolah Sampah Organik
Berikut ini beberapa manfaat pembuatan kompos menggunakan sampah rumah tangga.
-  Mampu menyediakan pupuk organik yang murah dan ramah lingkungan.
- Mengurangi tumpukan sampah organik yang berserakan di sekitar tempat  tinggal.
-  Membantu pengelolaan sampah secara dini dan cepat.
- Menghemat biaya pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir  (TPA).
-  Mengurangi kebutuhan lahan tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
- Menyelamatkan lingkungan dari kerusakan dan gangguan berupa bau, selokan macet, banjir, tanah longsor, serta penyakit yang ditularkan oleh serangga dan binatang pengerat.

2.7  Kekurangan Mengolah Sampah Organik
Setelah menjadi pupuk kompos, pupuk siap untuk digunakan sebagai penyubur tanah. Adapun kekurangan pupuk kompos adalah unsur hara relatif lama diserap tumbuhan, pembuatannya lama, dan sulit dibuat dalam skala besar. Oleh karena itu untuk mendukung peningkatan hasil-hasil pertanian diperlukan pupuk buatan.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak.
Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi.

3.2  Saran
Cara pengendalian sampah yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran dari dalam diri untuk tidak merusak lingkungan dengan sampah. Selain itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat diharapkan karena jika tidak maka para perusak lingkungan akan terus merusak sumber daya.














Wednesday, March 13, 2013


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alamtetapi akal budi manusia juga mampu ‘digiring’ untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukanpenghijauandi daerah kering,di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain”.
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargaialam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekonomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesardan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana pengaruh pelestarian lingkungan pada kehidupan manusia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Konservasi
Pada awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam dilakukan antara lain dengan cara berburu, yang merupakan suatu kegiatan baik sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu hobi/hiburan.
Di Asia Timur, konservasi sumber daya alam hayati dimulai saat Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan.Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari sumber daya alam milik kerajaan.
Kebijakan kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk konservasi sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka melakukan konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I melakukan pengelolaan sumber daya alam hayati atas dasar adanya data yang akurat.Namun dari sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno konservasi yang merupakan cikal bakal dari konsep modern konservasi dimana konsep modern konservasi menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana.
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
B. Kebijaksanaan Nasional Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Kebijakan nasional lingkungan hidup merupakan nilai-nilai dasar dalam pelestarian lingkungan yang terdiri butir-butir sebagai berikut :
Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan manusia saat ini, tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan manusia pada generasi-generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan didasarkan atas kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, dinamika sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Fungsi lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan dalam pembangunan perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung lingkungan sesuai fungsinya. Daya dukung lingkungan menjadi kendala (constraint) dalam pengambilan keputusan dan prinsip ini perlu dilakukan secara kontinyu dan konsekuen.
Pemanfaatan sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan antar generasi. Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan daya pemulihannya.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya, setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan yang benar, lengkap dan mutakhir.
Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan daripada usaha penanggulangan dan pemulihan.
Kualitas lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan kerusakan lingkungan perlu dihindari bila sampai terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan, maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan tanggung jawab pada pihak yang menyebabkannya
Pelestarian lingkungan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian melalui pendekatan manajemen yang layak dengan sistem pertanggung jawaban.
C. Paradigma Pelestarian Lingkungan
Sekarang ini paradigma pembangunan lebih bersifat high-techsentris, hingga keberhasilan pun hanya dilihat dari angka kuantitatif yang berdimensi material. Sementara itu keseimbangan ekologis, langka – untuk tidak mengatakan tak pernah sama sekali – mendapat perhatian dari fasilitator pembangunan.
Akibatnya ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan rupiah terkikis habis diterjang kemurkaan alam lewat berbagai kondisi lingkungan yang kian degradatif. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan yang sedemikian parah dari sekira 120,35 juta hektare; 59 juta hektare diantaranya rusak dan memerlukan rehabilitasi. Bahkan laju pengrusakannya berkisar 2,83 juta hektare setiap tahunnya. Kerugian material yang diderita pun hampir mencapai Rp. 10 triliunan per tahun.
Jika kondisi di atas tidak segera mendapat perhatian, saya rasa sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, hutan Indonesia akan mengalami penurunan, bahkan kehancuran. Maka, pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara terpadu semestinya menggunakan paradigma berwawasan ekologis hingga pemanfaatannya tidak berbentuk pengurasan habis-habisan yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan alam.
Lantas, bagaimana peran religiusitas, dalam hal ini Islam yang memiliki sumber pertama (masdar al-awwal) Al-Qur’an dalam memberikan sumbangsih bagi keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber daya alam adalah ancaman berat bagi pembangunan. Dari sinilah, pembangunan berbasis nilai-nilai religius sangat urgen diperhatikan agar bangsa dapat bepijak secara kokoh dan program pembangunan pun berkesinambungan serta mengikuti “aturan main” alam.
Agama mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke program konservasi alam)”.
Esensi ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yakni dari kalimat “agar mereka kembali”. Term “kembali” kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).
Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Karena itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman.
Tujuannya agar arah pembangunan dihiasi etika keadiluhungan agama, dan ketika berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari “angkat tangan” melestarikan atau malah “cuci tangan” ketika dirinya merusak alam. Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur.
Demikian, dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepulauan Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan.
Pertama, leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua, leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena alasan kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan, semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan izin dari pemimpin adat.
Dari tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi ketika terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat celcius pada musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan pembangunan infrastruktur yang jarang memperhatikan sarakan (baca: lingkungan) sekitar.
Kondisi di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga wajib menengok dan mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga mewujud dalam bentuk pembangunan berkelanjutan.
Alhasil, income pendapatan ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab, kita juga tahu bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita dan mesti dipelihara agar kelak mereka dapat bersenyum ria pada kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila sampai berusaha mengakhiri hidup dengan cara “bunuh diri” akibat kemiskinan yang diderita.
D. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Lingkungan
Konservasi sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan melakukan konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut, 1990).
Strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan tiga P (3P), yaitu :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Proses perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman hutan raya, dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990).
Dari ketiga strategi tersebut satu dengan lainnya sangat berkait, sehingga untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus dilakukan bersama-sama. Artinya kalau yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumber daya alam hayati tersebut.
Kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya ini meliputi tiga kegiatan sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis, dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Dephut, 1990).
Perlindungan Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk memelihara proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu kehidupan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan sistem penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Untuk melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu dipenuhi, yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi standart kesehatan tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Begitu pula kalau ingin melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik, dapat melakukan penandaan dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah (Dephutbun, 1999b).
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex-situ. Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai jenis tumbuhan akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan berbagai jenis tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan; di samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut.
Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun, 1999b). Khusus untuk perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam skala kecil dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi. Tentu saja jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut adalah yang tidak dilindungi, sedangkan perdagangan dalam skala besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memperoleh rekomendasi Menteri, di samping harus memiliki berbagai persyaratan tertentu lainnya (Dephut, 1990).
Adanya perubahan politik dari era sentralistik-otoriter ke desentralistik-demokratis yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah telah membawa dampak semakin tajamnya degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Perubahan tersebut akan mendorong adanya kegiatan yang mengarah pada perlombaan membangun daerah. Kegiatan tersebut senantiasa bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat setempat. Keadaan ini secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan ekosistemnya, sehingga pada gilirannya akan memacu keadaan lingkungan menjadi berada pada taraf membahayakan kehidupan masyarakat.
Terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam ini merupakan suatu indikasi adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan sumber daya alam.
Adanya peraturan pemerintah yang kurang memberikan penekanan pada upaya pelestarian sumber daya alam, dan lebih memprioritaskan perolehan pendapatan belaka, maka dapat membawa dampak yang sulit dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagaimana data yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwalaju pengurangan luas hutan di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Adanya pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan hutan (deforestasi).
Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia.
Ada berbagai masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan ekosistemnya, jika dalam penjabaran dan pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak ditangani secara hati-hati. Masalah yang akan muncul tersebut akan berupa degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan, sumber daya sungai dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai dampak pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya alam yang semula menjadi sumber utama bagi peningkatan pendapatan daerah, jika pemanfaatannya dalam jangka panjang tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang mengarah kepada upaya perbaikan dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam, maka hal tersebut sudah dapat diduga akan menjadi sumber konflik antar pemerintah daerah di masa yang akan datang.
Di awal era reformasi, terlihat gejala makin cepatnya degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di berbagai daerah telah terjadi perusakan hutan, baik hutan lindung, hutan peyangga, hutan tanaman industri, dan kawasan konservasi. Rusaknya hutan, berarti telah terjadi kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun satwa langka. Juga berbagai macam perusakan baik di laut, daerah aliran sungai, pertambangan, tanah, udara, dan air. Peristiwa tersebut telah terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia dengan akibat yang akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Menyikapi fenomena degradasi sumber daya alam hayati bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka diperlukan kesadaran kolektif dan serentak pada semua lapisan masyarakat, baik para penyelenggara pemerintahan, pelaku ekonomi, dan masyarakat pada umumnya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Saat ini kita telah merasakan semangat pembaruan yang semakin tampil dengan wajah kebebasan yang tidak jelas batas-batas dan arahnya. Hampir semua aspek kehidupan sekarang telah dilanda gejala tersebut, termasuk kebebasan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung mengarah pada perusakan dan degradasi sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, memang dituntut untuk dapat menggali potensi agar dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, tetapi bukan berarti bahwa kebebasan menggali potensi ini adalah merusak sumber daya alam yang ada. Pelaksanaan otonomi daerah tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan menanggung segala kerugiannya adalah masyarakat.
BAB IIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia, bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam hayati tersebut. Strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan Konservasi, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula.
Kegiatan penyelamatan lingkungan harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan konservasi. Konservasi lingkungan yang meninggalkan masyarakat lokal hanya akan menimbulkan konflik dan berujung pada kegagalan program konservasi. Karena itu, kepentingan masyarakat harus diakomodasi dengan menjadikan mereka mitra konservasi.
Tujuan konservasi alam tidak akan tercapai tanpa kerja sama dengan masyarakat lokal karena mereka sangat tergantung pada sumber daya alam. Masyarakat harus tetap memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dari kegiatan konservasi itu.
Kegiatan pelestarian lingkungan akan berhasil bila masyarakat lokal merasakan manfaat dari kegiatan itu secara langsung. Selama ini kegiatan konservasi lingkungan selalu diikuti konflik antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi. Masyarakat di sekitar kawasan yang selama ini bergantung pada sumber daya alam tiba-tiba terputus aksesnya untuk memperoleh penghidupan dari alam.
Manfaat kawasan konservasi bagi masyarakat akan semakin tegas bila didukung kebijakan pemerintah dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan manajemen kolaborasi. Dalam manajemen kolaborasi, masyarakat dan semua pihak terkait berbagi peran dalam pengelolaan kawasan. Mekanisme ini bisa meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas pengelolaan kawasan.
Penerapan jasa lingkungan merupakan salah satu cara pemberian imbalan yang layak bagi masyarakat konservasi. Sebagai contoh adalah mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Perusahaan Daerah Air Minum di sana membayar jasa lingkungan ke petani yang telah menjaga hutan di daerah tangkapan air Gunung Rinjani.
Wacana pembayaran jasa lingkungan seperti ini harus terus diangkat. Kita sering tidak memikirkan dari mana air yang kita minum selama ini. Bagaimana jika tidak ada masyarakat yang menjaga hutan di daerah tangkapan air.
Langkah lain yang penting dilakukan adalah meminta kontribusi dan penghargaan dari kelompok masyarakat penerima manfaat langsung kegiatan konservasi untuk ikut menanggung biaya konservasi. Hingga saat ini, sebut saja konsumen air minum PDAM maupun air botolan, belum menghargai dan membayar jasa keberadaan kawasan konservasi dan upaya tani-hutan di daerah tangkapan air dalam mengkonservasi wilayah tersebut.
Imbal balik ekonomi dari kegiatan konservasi tersebut membutuhkan peningkatan kapasitas masyarakat. Daya tawar masyarakat harus ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan fasilitasi ke pemerintah.
B. Saran
Untuk mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama, budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), berwawasan lingkungan (eco-development) dan bisa juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena itu, mari kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
Wardojo, W. 2001. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Jember: Penerbit Universitas Jember.

Monday, March 11, 2013


EFEKTIFITAS KULIT PISANG KEPOK (Musa acuminate) SEBAGAI
TEKNOLOGI FILTER PENJERNIHAN SEDERHANA TERHADAP 
AIR YANG TERCEMAR TEMBAGA (Cu) DAN TIMAH (Pb)



I.       PENDAHULUAN   
A.   Latar Belakang
Kebutuhan akan air bersih di daerah pedesaan dan pinggiran kota digunakan untuk berbagai keperluan. Seperti untuk air minum, memasak, mencuci dan sebagainya yang harus diperhatikan. Cara senjernihan air perlu diketahui karena semakin banyak air yang tercemar limbah umah tannga maupun limbah industri (Samia, 1981). Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pencemaran air menyatakan bahwa, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas perairan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Peraturan ini menyatakan bahwa pencemaran harus ditanggulangi dan penanggulangannya adalah merupakan kewajiban semua pihak. Permasalahan ekologis yang menjadi perhatian utama pada saat ini adalah menurunnya kualitas perairan oleh masuknya bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan manusia seperti sampah pemukiman, sedimentasi dan siltrasi, industri, pemupukan serta pestisida (Marganof, 2007).
Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan, tambang vulkanik dan lain-lain. Logam berat termasuk dalam kelompok pencemar, hal itu dikarenakan adanya sifat-sifat logam berat yang tidak terurai dan mudah diabsorbsi serta memiliki sifat yang membahayakan. Beberapa logam berat yang beracun tersebut adalah As, Cd, Cr, Pb, Hg, Ni dan Zn. Logam akan berbahaya jika sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu akan berbahaya apabila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan. Hal itu dikarenakan logam tersebut mempunyai sifat merusak tubuh makhluk hidup (Sony, 2009).
Menurut Marganof (2007) menyatakan kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.
Kulit pisang merupakan bahan buangan atau limbah buah pisang yang cukup banyak jumlahnya. Umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai limnah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak seperti kambing, sapi dan kerbau. Jumlah dari kulit pisang cukup banyak yaitu sekitar 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas. Kulit pisang juga menjadi salah satu limbah dari industri pengolahan pisang, namun bisa dijadikan teknologi dalam penjernihan air (Lubis, 2012).
Metode yang telah dikembangkan untuk menghilangkan atau mengurangi logam berat dari air termasuk penyaringan, penyaringan sentrifugasi, mikro dan ulntra filtrasi, kristalisasi sedimentasi dan pemisahan gravitasi, flotasu, curah hujan, koagulasi, oksidasi dialisis elektro, elektrolisis dan adsorbsi. Penyerapan karbon aktif adalah metode yang paling menguntungkan filtrasi logam berat. Hal ini sebagian karena penggunaan yang universal, dimana karbon aktif dapat digunakan untuk menyerap anorganik serta organik yang tercemar. Karbon aktif tidak digunakan dalam skala besar karena biaya produksi yang tinggi (Hewwet et al., 2011).
B.       Perumusan Masalah
       Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji lebih dalam adalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana efektifitas kulit pisang (Musa acuminate) sebagai teknologi filter sederhana dalam proses penjernihan air?
2.        Bagaimana kandungan  kulit pisang (Musa acuminate) dalam mempengaruhi mekanisme penjernihan air untuk mengurangi pencemaran perairan?
C.   Tujuan Penulisan
       Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk mengkaji:
1.        Efektifitas kulit pisang (Musa acuminate) sebagai teknologi filter sederhana dalam proses penjernihan air
2.        Kandungan yang dimiliki kulit pisang (Musa acuminate) dapat mempengaruhi mekanisme penjernihan air untuk mengurangi pencemaran perairan.
D.   Manfaat Penulisan
       Manfaat yang dapat diperoleh adalah memberikan informasi ilmiah mengenai efektivitas kulit pisang (Musa acuminate) sebagai teknologi filter sederhana penjernihan air dalam upaya mengatasi pencemaran perairan.
E.   Ruang Lingkup
       Ruang lingkup dapat difokuskan pada penerapan kulit pisang (Musa acuminate) pada warga-warga untuk menjernihkan air yang terlihat keruh.
BAB II. METODE PENULISAN

A. Objek Penulisan
Objek penulisan makalah ini adalah kulit pisang (Musa sp.) sebagai teknologi filter sederhana untuk menjernihkan perairan yang tercemar oleh tembaga (Cu) dan timah (Pb).

B. Dasar pemilihan Objek
Penulis mengambil dasar pemilihan objek mengenai kulit pisang (Musa acuminate) yang dapat mengikat unsur tembaga (Cu) dan timah (Pb) yang merupakan sumber pencemar pada perairan.

C. Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data pada penulisan makalah ini adalah studi literatur. Studi literatur ini berperan sebagai landasan teori maupun analisa pembahasan terhadap masalah yang perlu dipecahkan. Adapun sumber-sumber yang dapat digunakan seperti jurnal-jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah, textbook ataupun sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
D. Metode Analisis
Menggunakan metode deskriptif analitis: Mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada. Menganalisis berdasarkan pustakan dan data pendukung: mencari alternative pemecahan masalah.
III.  ANALISIS PERMASALAHAN
A. Pembahasan

Menurut Rinawati dkk (2008), menyebutkan bahwa salah satu bahan pencemar yang sering ditemukan di lingkungan perairan adalah logam berat. Logam berat yang telah mencemari suatu perairan akan terakumulasi dalam sedimen dan organisme melalui proses gravitasi, bio-konsentrasi, bio-akumulasi, dan bio-magnifikasi. Urutan toksisitas logam berat adalah: Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+> Pb2+> As2+> Cr2+> Sn2+> Zn2. Kadar ini akan meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke lingkungan laut. Beberapa daerah yang kaya akan industri, sayur-sayuran, ikan-ikan mengandung logam berat. Apabila makanan tersebut dikonsumsi secara terus menerus, maka logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh dan dapat menyebabkan kanker, atau penyakit lain seperti gangguan ginjal, sistem saraf pusat, saluran pencernaaan, pernafasan, darah, kulit, sistem endokrin, dan kardiovaskuler. Hal itu dikarenakan logam berat tersebut bersifat kumulatif, akan menumpuk dalam jumlah banyak dalam tubuh jika kita sering mengkonsumsi makanan yang mengandung logam berat tersebut (Suyanto dan Koesmantoro, 2010).
Logam berat dapat dikelola dengan cara sederhana yaitu memanfaatkan arang tempurung kelapa atau serbuk gergaji dari berbagai kayu, atau menggunakan tanaman seperti enceng gondok, kayu apu, kangkung, serta semanggi air. Bisa juga memanfaatkan mikroorganisme seperti Escherichia coli, Theobacillius ferooxidan, bacillus,sp dapat digunakan untuk mengeliminir Pb. Karbon aktif atau arang tempurung kelapa (cocos nucefera L) memiliki kemampuan menyerap atau mengeliminir Cd dalam larutan sebesar 64,06 persen. Serbuk gergaji kayu sengon (albizzia falcata) menyerap Pb sebesar 0,15 mg/gram atau menurunkan kadar Pb sebesar 35,81 persen (Suyanto dan Koesmantoro, 2010).
Logam tembaga (Cu) merupakan salah satu logam essensial yang diperlukan makhluk hidup dalam pertumbuhannya. Cu banyak terdapat dalam air, tanah, dan udara baik dalam bentuk ion maupun persenyawaan. Semakin meningkatnya aktifitas dan tuntutan kesejahteraan manusia akan berdampak pada peningkatan pencemaran berbagai macam logam berat, diantaranya adalan Cu. Logam Cu termasuk logam berat essensial, jadi meskipun beracun tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam jumlah yang kecil. Toksisitas yang dimiliki Cu baru akan bekerja bila telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah yang besar atau melebihi nilai toleransi organisme terkait. Logam Cu yang masuk ke dalam tatanan lingkungan perairan dapat terjadi secara alamiah maupun sebagai efek samping dari kegiatan manusia. Secara alamiah Cu masuk kedalam perairan dari peristiwa erosi, pengikisan batuan ataupun dari atmosfer yang dibawa turun oleh air hujan. Sedangkan dari aktifitas manusia seperti kegiatan industri, pertambangan Cu, maupun industri galangan kapal beserta kegiatan dipelabuhan merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan Cu dalam perairan. Menyatakan bahwa Cu merupakan logam essensial yang jika berada dalam kosentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan organisme sedangkan dalam konsetrasi yang tinggi dapat menjadi penghambat. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam perairan sebagai tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0,01 ppm akan menyebabkan kematian bagi fitoplankton. Dalam tenggang waktu 96 jam biota yang tergolong dalam Mollusca akan mengalami kematian bila Cu yang terlarut dalam badan (Siska, 2008).
Timbal atau timah hitam dan dalam bahasa ilmiahnya dikenal dengan kata plumbum, logam ini disimpulkan dengan Pb. Pb sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam timah hitam dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat. Timah hitam dan senyawanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan absorbsi melalui kulit sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Bahaya yang ditimbulkan oleh Pb tergantung oleh ukuran partikelnya. Partikel yang lebih kecil dari 10 mg dapat tertahan di paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar mengendap di saluran nafas bagian atas. Pb adalah racun sistemik, keracunan Pb akan menimbulkan gejala rasa logam di mulut, garis hitam pada gusi, ganggunan GI, anorexia, muntah-muntah, kolik, encephalitis, wirstdrop, iritasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan dan kebuataan. Basophilic stippling dari sel darah merah merupakan gejala patogenesis bagi keracunan Pb. Gejala lain dari keracunan ini berupa Anemia dan Albuminuria. Timbal dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Kadarnya dalam lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan dan berbagai penggunaannya dalam industri. Timah hitam digunakan pula sebagai zat warna yaitu Pb karbonat dan Pb sulfat sebagai zat warna putih dan Pb kromat sebagai krom kuning, krom jingga, krom merah dan krom hijau (Ardyanto, 2005).
Butiran serbuk gergaji mempunyai porositas yang dapat dipakai sebagai media filter untuk menyaring logam berat pada limbah cair. Bahan–bahan berbahaya seperti logam berat dapat terikat, tereliminir bahkan tereduksi dalam proses filter ini. Kandungan golongan beracun yaitu air raksa (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe), nikel (Ni), seng (Zn), mangan (Mn), Selenium (Sn), Au dan Ag. Air limbah dari beberapa industri setelah melalui proses pengolahan masih terdapat efisiensi removal yang masih kecil, sehingga efluen air limbah masih dapat berdampak negatif menjadikan dampak kerusakan ekosistem perairan (badan air), seperti sungai, danau dan laut (Soeyanti dan Koesmantoro, 2010).
Logam berat beracun dalam air menyebabkan masalah kesehatan pada populasi dan lingkungan. Metode ini untuk meminimalkan jumlah logam ini berbahaya daam penyediaan air meliputi pengendapan kapur, pertukaran ion, adsorbsi karbon atif dalam proses membran dan metode elektrolitik. Beberapa masalah dengan metode saat ini mencakup biaya tinggi, efektifitas rendah, peralatan mahal kebutuhan energi yang tinggi atau limbah beracun. Karbon aktif telah menjadi pilihan populer untuk menghilangkan logam berat, namun biaya yang tinggi dan terbatasnya pasokan bahan telah menimbulkan masalah bagi metode penyerapan. Terdapat alternatif baru untuk karbon aktif dan memiliki bahan alami seperti rumput laut, ganggang laut, biomassa lumpur aktif,cangkang kepiting, tempurung kelapa dan kulit buah beserta serat. Keuntungan menggunakan kulit buah sebagai penyerapan adalah bahwa hal itu sudah tersedia dan lebih murah. Logam berat yang masuk dalam perairan melalui deposisi atmosfer, lixiviation pada daerah pertambangan serta bidang garapan dan limbah industri. Silika alumina termodifikasi, karbon aktif dan resin adalah salah satu bahan yang bisa duguankan. Namun, bahan-bahan ini memiliki kekurangan yaitu harganya yang mahal dan dianggap tidak ramah lingkungan. Atas hal inilah dicari bahan alami untuk mengekstrak ion logam dari air tebu, ampas tebu, kulit kacang dan limbah apel. Keseluruhan telah diuji dan terbukti berhasil mengekstraksi bahan logam. Bahan-bahan ini semuanya mengandung gugus asam karboksilat dan fenolik. Buah seperti buah zaitun, almond kerang, buah aprikot, buah persik, sekelompok buah kelapa dan kelapa yang dikeringkan dan siap untuk digunakan sebagao peredam juga. Bahan-bahan ini sangat ekonomis, namun kekurangan yang dimiliki adalah hanya menghasilkan karbon aktif sebesar 0.01% (Hewwet et al., 2011).
Pisang merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan, mulai dari buah, batang, daun, kulit hingga bonggolnya. Tanaman pisang yang merupakan suku Musaceae termasuk kedalam tanaman yang besar memanjang. Tanaman pisang sangat menyukai sekali pada daerah yang beriklim tropis panas dan lembab terlebih si dataran rendah. Ditemui pula di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Indonesia serta termasuk pula Papua, Australia Topika, Afrika Tropi. Pisang dapat berbuah sepanjang tahun pada daerah dengan hujan merata sepanjang tahun. Umumnya, kebanyak orang memakan buah pisang kulitnya akan dibuang begitu saja. Seringkali kulit pisang dianggap sebagai barang tak berharga alias sampah. Ternyata dibalik anggapan tersebut, kulit pisang memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein dan juga lemak yang cukup baik. Selain itu, kulit pisang menyimpan tegangan tenaga listrik. Kandungan tenaga listrik yang ada pada kulit pisang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan tenaga batu baterai (Mashur, 2011).
 Menurut Suhartono (2011), menyebutkan bahwa pisang kepok (Musa acuminate L.) merupakan produk yang cukup perspektif dalam pengembangan sumber pangan lokal karena pisang dapat tumbuh di sembarang tempat sehingga produksi buahnya selalu tersedia, Kulit buah kuning kemerahan dengan bintik- bintik coklat. Berikut adalah klasifikasi dari buah pisang kepok (Musa acuminate L.):
Kingdom    : Plantae
Filum          : Magnoliophyta
Kelas          : Magnoliopsida
Ordo           : Zingiberales
Famili         : Zingiberraceae
Genus         : Musa
Spesies       : Musa acuminata L.
Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke Timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu, tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kanari, sampai Benua Amerika. Pisang yang dikenal sampai saat ini merupakan keturunan dari spesies pisang liar yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana. Pisang Kepok memiliki tinggi 370 cm dengan umur berbunga 13 bulan. Batangnya berdiameter 31 cm dengan panjang daun 258 cm dan lebar daun 90 cm, sedangkan warna daun serta tulang daun hijau tua. Bentuk jantung spherical atau lanset. Bentuk buah lurus dengan panjang buah 14 cm dan diameter buah 3.46 cm. Warna kulit dan daging buah matang kuning tua. Produksi Pisang Kepok dapat mencapai 40 ton/ha (Firmansyah, 2012).
Menurut Hewwet et al (2011), menyebutkan bahwa kulit pisang kepok (Musa acuminate) didalamnya mengandung beberapa komponen biokimia, antara lain selulosa, hemiselulosa, pigemen klorofil dan zat pektin yang mengandung asama galacturonic, arabinosa,  galaktosa dan rhamnosa. Asam galacturonic menyebabkan kuat untuk mengikat ion logam yang merupakan gugus fungsi gula karboksil. Didasarkan hasil penelitian, selulosa juga memungkinkan pengikatan logam berat. Limbah kulit daun pisang yang dicincang dapat dipertimbangkan untuk ekstraksi tembaga dan ion timbal pada air yang terkontaminasi. Hanya butuh sekitar 20 menit untuk konsentrasi Cu dan Pb untuk mencapai keseimbangan. Kulit buah yang salah satunya kulit pisang dapat digunakan sebagai ekstraktor logam berat.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah pertama pisang dicuci sebanyak 5 kali untuk menghilangkan kotoran dan kelembaban yang akan mempengaruhi hasil. Lalu dikeringkan selama 48 jam dalam oven 50oC. Pengujian ini menunjukkan bahwa gugus karboksil dan kadar selulosa hidroksil akan langsung mempengaruhi kapasitas penyerapan. Kulit pisang dicincang secara efisien dalam media asam. Proses ini mencapai retensi lebih dari 90%  pada pH 3 dan retensi 98% pada pH 4 dan 5. Teknik ini tidak efektif pada pH di bawah 3 dan di atas 5. Hal itu dikarenakan asam karboksilat merupakan kelompok fungsi utama dalam ekstraksi ion logam menjadi protonasi pada konsentrasi H+ tinggi. Kapasitas ekstraksi pun hanya memiliki maksimum Cu sebesar 0.30 mmol/g dan Pb sebesar 0.20 mmol/g. Adanya perbedaan nilai maksimum pada ekstraksi Cu dan Pb disebabkan gugus karboksilat dianggap sebagai basa kuat dan memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk asam menengah atau kuat. Ion Cu merupakan asam menengah sedangkan Pb dianggap sebagai asam lemah karena tingginya polarisabilitas lebih besar dari radius ion dan menyebabkan ekstraksi lebih rendah (Hewwet et al., 2011).
Hasil pengujian pun menunjukkan bahwa efisiensi ekstraksi berbahan dari kulit pisang kepok pada konsentrasi anion 10 mg/L adalah sekitar 97-98% dan tidak akan menurun secara signifikan meskipun konsentrasi anion berada diatas 10 mg/L. Membandingkan dengan bahan ekstraksi lainnya, kulit pisang menjadi pilihan yang menarik (Lihat Tabel 1). Tidak hanya karena tingkat ekstraksi yang tinggi, melainkan karena biaya yang rendah dan aksesibilatas serta mudah didapat. Teknis ini dapat dilakukan dalam skala rumah. Diawali dengan mengeringkan kulit pisang dalam dehidrator makanan dan memotong halus dengan pisau standar. Lalu ditempatkan dalam wadah kaca atau logam 1.005 ml atau teko teh plastik 2.750 ml. Wadah ini perlu dimodifikasi dengan pipa diameter 4 cm dan panjang 88 cm serta tembaga yang akan menyebabkan air yang terkontamunsikan dari meninggalkan air hangat di dalam pipa. Air yang digunakan akan masuk langsung dari pipa. Tingkat tembaga dan timbal dari air akan diukur sebelum dimasukkan dalam perangkat filtering dengan tes kadar air tembaga dan tes air utama serta pada waktu yang berbeda setelahnya. Hasil pengujian dapat dibandingkan (Hewwet et al., 2011).
Menurut Castro et al (2011), kulit pisang dapat dimanfaatkan dalam mengikat tembaga dan timah dari air sungai Parana Brasil yang tercemar dengan tembaga dan timah. Hasilnya pun lebih baik dibandingkan dengan bahan penyaring yang biasa digunakan seperi karbon dan silika. Kulit pisang ini dapat digunakan hingga 11 kali proses penjernihan.
B. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis permasalahan, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan pencemaran perairan yang diakibatkan oleh logam berat, terutama tembaga (Cu) dan Timah (Pb), dapat diatasi dengan teknologi filter sederhana berbahan kulit pisang kepok (Musa acuminate). Kandungan asam galacturonic  dan selulosa yang dimiliki oleh kulit pisang kepok  (Musa acuminate) mampu mengikat tembaga (Cu) dan Timah (Pb) pada perairan yang tercemar dalam waktu 20 menit.
Saran yang dapat kami sampaikan adalah perlunya sosialisasi mengenai teknologi filter sederhana berbahan kulit pisang kepok (Musa acuminate) kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang berdomisili di sekitas kawsan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Ardyanto, Denny. 2005. Deteksi Pencemaran Timah Hitam (Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Timbal (Plumbum). Jurnal kesehatan lingkungan, vol. 2, NO.68 1, Juli 2005 : 67 – 76
Firmansyah, Irfan. 2012. Penentuan ukuran dan teknik penyimpanan Benih pisang kepok (Musa sp. Abb group) dari bonggol. Institut Pertanian Bogor
Castro, R. S. D., Caetano, L., Ferreira, G., Padilha, P. M., Saeki, M. J., Zara, L. F., Martines, M. A. U., & Castro, G. R. (2011). Banana peel applied to the solid phase extraction of copper and lead from river water: Preconcentration of metal ions with a fruit waste. Industrial & Engineering Chemistry Research, 50(6), 3446-3451. Retrieved from pubs.acs.org/IECR
Hewett, Emma.,  Stem A  and Mrs. Wildfong. 2011. Banana Peel Heavy Metal Water Filter. http://users.wpi.edu
Suyanto , Beny dan Koesmantoro, Hery. 2010. Efektifitas Limbah Serbuk Gergaji Kayu Kelapa Dan Kayu Randu Dalam Mengeliminir Logam Besi Pada Limbah Cair. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 237
Marganof. 2007. Pengaruh Penambahan Tepung Kulit Pisang Raja (Musa paradisiaca) Terhadap Daya Terima Kue Donat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Mashur, 2011. Manfaat Kulit Pisang.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI.
Rinawati, R. Supriyanto, Widya S. Dewi. 2008. Profil Logam Berat (Cd, Co, Cr, Cu, Fe, Mn, Pb dan Zn) Di Perairan Sungai Kuripan Menggunakan ICP-OES. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II Universitas Lampung, ISBN : 978-979-1165-74-7
Samia, Al Azharia Jahn. 1981. Traditional Water Purification in Tropical Developing Countries : Existing Methods and Potential Application. Eschborn : GTZ.
Siska. 2009. Kandungan Logam tembaga (Cu) dalam Eceng Gondok (Eichhornia crassipes Solms.), Perairan dan Sedimen Berdasarkan Tata Guna Lahan di Sekitar Sungai Banger Pekalongan (Siska Setyowati, Nanik Heru Suprapti dan Erry Wiryani ) Lab. Ekologi & Biosistematik, Jurusan Biologi, F. MIPA. UNDIP.